Penulis:
Siti Wulandari, Liliana Puspasari, Diah Aryanti, dkk.
Mahasiswa FISIP-Hubungan Internasional
Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
(27 April 2012)
BAB I
PENDAHULUAN
Radikalisme ialah suatu paham
yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem
di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan. Orang-orang
yang menganut paham radikalisme ini menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu
kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Mereka menganggap bahwa rencana-rencananya
adalah rencana yang paling ideal. Pada awalnya radikalisme ini bermula di Inggris, di mana radikalisme merupakan hasil
usaha untuk melakukan perubahan terhadap parlemen.[1] Gerakan
radikalisme ini bertujuan untuk mencapai kemerdekaan atau pembaruan electoral
mencapai republikanisme, penghapusan
gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan dengan
perkembangan liberalisme.[2]
Paham atau aliran ini menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau pun dengan drastis.[3] Menunjuk pada faham yang
meyakini dan menganjurkan:
1. tata-cara perubahan secara
total
2. bersumber pada doktrin-doktrin
fundamental yang dipaksakan
secara menyeluruh
3. mencakup semua sendi-sendi
kehidupan
4. membawa konsekwensi sangat
jauh baik dalam dimensi waktu maupun dalam dimensi tatanan kemasyarakatan
5. menggunakan kekerasan fisik
6. didahului dengan intimidasi
kekerasan simbolik ataupun kekerasan wacana (hate speech)
Sedangkan, dalam terminologi ilmu sosial,
radikalisme merupakan suatu paham atau aliran dalam gerakan sosial politik yang
ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik yang lebih baik dengan
cara menghancurkan akar kejahatan sosial, menghilangkan institusi-institusi
yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi, dengan program
membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan.
Radikalisme juga merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan,
pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya
bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan, menginginkan adanya perubahan total
terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis
akan mencoba menjelaskan mengenai fenomena gerakan radikalisme massa di wilayah
Nusa Tenggara Barat, serta mengupas mengenai akar permasalahan yang menyebabkan
terjadinya fenomena gerakan radikalisme massa di wilayah Nusa Tenggara Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
·
Fenomena dan Ancaman
Radikalisme Gerakan Massa di NTB
Fenomena kerusuhan dan
kekerasan yang melibatkan gerakan massa akhir-akhir ini marak terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah NTB. Fenomena ini telah menarik
perhatian publik maupun masyarakat internasional.
Frekuensi gerakan massa di NTB
sejak Januari s/d Desember 2011 (diolah
dari berbagai sumber), terdapat sebanyak 780 kasus dalam bentuk aksi unjuk rasa
dan pengerahan massa dari berbagai elemen masyarakat, LSM, maupun kelompok
pergerakan mahasiswa. Dari data tersebut, teridentifikasi di Kota Mataram
sebagai ibukota Provinsi sebanyak 212 kasus, Kab. Lombok Barat 64 kasus, Lombok
Tengah 83 kasus, Kab. Lombok Utara 29 kasus, Kab. Lombok Timur 101 kasus, Kab.
Sumbawa Barat 52 kasus, Kab. Sumbawa 55 Kasus, Kab. Dompu 70 Kasus, serta
Kabupaten dan Kota Bima 114 kasus. Sementara gerakan massa yang berakhir
anarkis atau tindakan kekerasan dan pengrusakan, maupun bentrok dengan aparat kepolisian pada
tahun 2011 teridentifikasi sebanyak 44 kasus dan 1 kasus (pembakaran Kantor
Pemerintahan di Kab. Bima) pada 10 Januari 2012. Daerah tertinggi tingkat
anarkisme massa yang terjadi pada tahun 2011, yakni Kab. Lombok Timur 10 kasus,
Kab. Bima 9 kasus, Kab. Sumbawa Barat 8 kasus, Kab. Lombok Barat 6 kasus, Kab.
Lombok Tengah 5 kasus, Kab. Sumbawa dan Kota Bima masing-masing 2 kasus, serta
Kab. Lombok Utara dan Kab. Dompu masing-masing 1 kasus. Maraknya kasus
anarkisme massa di wilayah NTB tersebut lebih didominasi oleh permasalahan
konflik pertambangan, seperti yang terjadi di Kab. Lombok Timur (Penolakan
pertambangan pasir besi di Kec. Pringgabaya), Kab. Lombok Barat (Penolakan
Tambang PT ILBB di Kec. Sekotong), Kab. Sumbawa Barat (permasalahan pertambangan
dan rekrutmen tenaga kerja PT NNT), dan Kab. Bima (Penolakan SK Bupati Bima No.
188.45/357/004/2010 tentang ijin ekplorasi tambang PT Sumber Mineral Nusantara
di Kec. Lambu, Kec. Sape dan Kec. Langgudu). Beberapa tindakan kekerasan dan
anarkisme massa juga dipicu oleh perbedaan aliran atau faham keagamaan yang
dinilai sesat, seperti kasus pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Kab. Sumbawa pada
11 dan 12 Juni 2011, kasus pembakaran mushollah milik Jamaah Assunah Salafiyah
di Dusun Lambung Lauk, Desa Pringgasela Selatan, Kab. Lotim pada 6 Mei 2011 dan
pembakaran rumah di Dusun Pecatu, Desa Seruni Mumbul, Kec. Pringgabaya karena
diduga rumah tersebut dijadikan sebagai tempat pengajian aliran sesat, sehingga
mengakibatkan rumah rusak parah dan hangus
terbakar. Selain itu, juga disebabkan oleh permasalahan sosial dan
konflik politik, seperti ketidakpuasan para pendukung calon kepala desa dalam
Pemilihan Kepala desa.
Munculnya radikalisme gerakan
massa di tengah masyarakat NTB merupakan fenomena menarik untuk dicermati di
tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah menapaki masa transisi
menuju demokrasi. Fenomena tersebut harus dilihat dari persepektif sosial,
politik, dan ekonomi, yang mungkin bisa dimaknai ganda, “positif dan negatif”.
Secara positif gerakan tersebut dipandang sebagai wujud kebangkitan daya kritis
masyarakat ditengah proses konsolidasi demokrasi di Indonesia untuk membangunan
sebuah tatanan perubahan dan keadilan sosial secara radikal. Secara negatif,
bisa dimaknai sebagai ancaman bagi tegaknya demokrasi di Indonesia, melumpuhkan
kekuatan supremasi hukum di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap
aparat penegak hukum. Meskipun seringkali fenomena tersebut hanya selalu
dipandang sebagai fenomena konflik vertikal ataupun horizontal tanpa menemukan
akar permasalahannya.
·
Radikalisme Gerakan Massa ;
Ideologi dan Strategi
Jika kita mengacu pemahaman
radikalisme berdasarkan terminology ilmu sosial seperti yang diuraikan di atas,
maka radikalisme sebagai faham atau aliran dalam gerakan sosial politik, akan
mempengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku setiap gerakan yang muncul dari
individu maupun kelompok atau komunitas yang mengorganisir dirinya dalam sebuah
kelompok pergerakan.
Pertanyaannya, apakah fenomena
gerakan massa radikal di NTB menganut ideologi radikalisme ataukah hanya sebuah
strategi dan taktik gerakan yang dengan sengaja diorganisir atau mengorganisir
gerakannya oleh aktor (tokoh gerakan) dalam membangun tatanan sosial politik
ekonomi yang demokratis atau bervisi kerakyatan, serta mewujudkan perubahan dan
keadilan sosial? Atau boleh jadi fenomena tersebut adalah perpaduan yang
dilandasi oleh sebuah ideologi gerakan dengan menggunakan strategi-strategi dan
taktik gerakan dengan menggunakan instrumen kekerasan untuk menghancurkan akar
kejahatan sosial dan menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi
penghalang terhadap pencapaian tujuannya dalam menentang kemapanan keuasaan
yang tidak populis atau istilah “pro rakyat”.
Dalam menanggapi fenomena
radikalisme massa di Nusa Tenggara Barat yang akhir-akhir ini marak terjadi,
selain mengacu pada terminology sosial tentang radikalisme, kita pun dapat
mempertimbangkan pendapat dari seorang Pengamat Sosial dari Universitas
Sriwijaya (Unsri), Dr. Ardian Saptawan MSi, bahwa “terjadinya reaksi massa yang
berlebihan bisa diakibatkan rasa frustasi dan kekecewaan. Sehingga kerusuhan
massa yang didasari perebutan kembali hak sosial dan ekonomi merupakan muara
terakhir rasa frustasi tekanan psikologis. Pendapat ini memandang bahwa munculnya
gerakan massa sebagai reaksi terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa pakar ilmu
sosial di Indonesia juga mengungkapkan 5 penyebab kekerasan massa di Indonesia,
yakni ; “Pertama, menumpuknya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat atas
situasi sosial, ekonomi dan politik yang dirasakan dalam kesehariannya; Kedua,
tersumbatnya aspirasi masyarakat dalam format pembangunan politik (istilah
penulis- lemahnya fungsi legislatif dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi
konstituen atau rakyat) atau terdapatnya ketimpangan antara pembangunan ekonomi
dengan pembangunan politik dan hukum; Ketiga, gejala kemiskinan dan tajamnya
ketimpangan dalam struktur masyarakat bawah antara si kaya dan si miskin;
Keempat, meningkatnya fenomena praktek kolusi, korupsi dan manipulasi; dan
Kelima, ketimpangan distribusi aset ekonomi yang cenderung dirasakan
masyarakat”.
Selain itu, beberapa
teori-teori gerakan sosial, juga dapat digunakan untuk membedah atau melacak
munculnya akar radikalisme gerakan sosial di Indonesia, hususnya di wilayah
NTB, antara lain teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang diwakili oleh Jurgen
Habermas dan Antoni Giddens (karyanya banyak berkembang di Indonesia) dan teori
konflik dari Lewis A Coser yang mengembangkan perspektif konflik karya ahli
sosiologi Jerman George Simmel atau terori konflik dari Ralf Dahrendorf (Sosiolog Jerman). Teori lain yang menarik
digunakan untuk menganilisis fenomena tersebut melalui pendekatan teori Social
Movement yang dikembangkan oleh Neil J. Smelser yang melihat hubungan sebab-sebab
tumbuhnya gerakan massa. Menurutnya ada 6 penyebab timbulnya gerakan massa,
yakni 1) kondusifitas struktural, 2) ketegangan struktural, 3) tersebarnya
kerpercayaan umum (ideology yang dianut), 4) faktor-faktor yang mempercepat, 5)
mobilisasi partisipan untuk melakukan aksi, dan 6) pelaksanaan kontrol sosial.
Smelser juga membagi 6 penyebab tersebut dalam tiga tahap munculnya gerakan
massa, yakni tahap inkubasi (penyebab dari point 1-4), tahap aksi (point 5),
dan tahap adaptasi atau institusionalisasi (point 6).
Dalam konteks ideologi dan
strategi, gerakan massa juga muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap anti
neoliberalisme global, seperti yang diwacanakan oleh Coen Husain Pontoh dalam
bukunya “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global”. Ia memandang bahwa
salah satu ciri khas gerakan anti-neoliberalisme adalah kesadaran mereka untuk
memaksimalkan jaringan internasional, sebab dampak neoliberalisme sudah
demikian mengglobal sehingga relatif mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi
masalah dan kesamaan dalam agenda perlawanan mereka. Menurut Pontoh, ada lima
karakter yang dimiliki oleh gerakan massa yang sukses, yakni perlawanan
terhadap neoliberalisme, perjuangan politik, berbasis massa, demokrasi
partisipatoris, dan program yang konkret. Kelima faktor ini telah hadir di
gerakan massa di Brasil, Venezuela, Argentina, dan Korea.
Dalam gerakan massa yang
terjadi di Nusa tenggara barat, mereka menggunakan strategi dan taktik dalam
memobilisasi massa di tengah masyarakat untuk memperjuangkan aspirasinya
menuntut perubahan, bahkan mengkritisi atau “melawan” kebijakan pemeritah yang
dinilai tidak pro terhadap rakyat. Dari sisi substansi atau isu yang diusung,
gerakan massa di NTB juga cenderung dilakukan sebagai ungkapan ketidakpuasan
terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi, lemahnya supremasi
penegakan hukum, lemahnya fungsi legislatif dalam menyerap dan menyalurkan
aspirasi rakyat, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sikap dan
perilaku aparat penegak hukum, hilangnya kewibawaan pemerintah daerah di tengah
masyarakat, pudarnya kharisma tokoh masyarakat/tokoh agama, dan diperparah
dengan rendahnya SDM dan kesadaran hukum di tengah masyarakat. Hal ini juga
tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya pemahaman hak-hak sipil dan politik
masyarakat tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyampaikan
pendapat, maupun kebebasan mendapatkan hak-hak politik dan ekonomi yang
didukung oleh undang-undang.
Keterlibatan para aktor dan
tokoh-tokoh penggerak yang terlibat dalam gerakan massa (terkonsolidir dengan
baik dan kuat), baik dari LSM maupun kelompok pergerakan mahasiswa, sangat
mempengaruhi kekuatan pola dan strategi mobilisasi massa. Kecenderungan gerakan
ini digunakan oleh kelompok pergerakan yang berbasis ideologis “Sosialis Kiri
Baru” (dalam istilah ideologi gerakan disebut sebagai “New Left Socialis” yang
telah berkembang di negara-negara berkembang, khususnya Amerika Latin yang
mengandalkan pada kekuatan aktor mengkonsolidr massa, sebagai simbol perlawanan
terhadap hegemoni neo liberalisme dan kapitalisme. Pola gerakan ini juga
cenderung memanfaatkan masyarakat yang dinilai menjadi korban pembangunan atau
kebijakan pemerintah dengan melakukan propaganda-propaganda di tengah
masyarakat yang dimulai dengan kegiatan advokasi dan pendampingan, kemudian
melakukan aksi-aksi protes secara berkelanjutan dengan mambangun isu-isu yang
merugikan masyarakat dan lingkungan, membentuk front-front perjuangan dengan
membangun koalisi gerakan dengan kelompok lainnya yang melibatkan aktivis
gerakan, tokoh-tokoh pemuda dan tokoh masyarakat lokal untuk memobilisasi massa
melalui kongres atau rapat akbar, yang pada akhirnya menyusun strategi gerakan
perlawanan yang dapat menarik simpatik dan dukungan massa. Jika posisi kekuatan
massa dalam kelompok gerakan lebih kuat dari kelompok status quo, maka jalan
yang akan ditempuh adalah komprontasi atau perlawanan dengan kekerasan, seperti
menduduki tempat-tempat vital pemerintahan, fasilitas umum, maupun pemblokiran
terhadap infrastruktur yang dapat memancing emosi massa untuk melakukan
tindakan-tindakan kekerasan agar tujuan dan aspirasinya terpenuhi. Namun jika
posisi kelompok “status quo” lebih besar dari kekuatan massa gerakan, maka
jalan yang ditempuh adalah konsensus atau negosiasi.
Selain itu, kelompok gerakan
tersebut cenderung memanfaatkan konflik dan kemelut politik yang terjadi
didaerah setempat dengan melakukan pendekatan kepada elit-elit politik yang
memiliki unsur kekecewaan atau ketidakpuasan yang dijiadikan sebagai sponsor gerakan
baik lokal maupun nasional yang juga memiliki nuansa politik. Oleh karena itu,
beberapa kejadian radikalisme gerakan massa di NTB disinyalir tidak terlepas
dari kolaborasi kepentingan kelompok gerakan massa dengan kepentingan elit
politik untuk mencapai tujuannya masing-masing dengan menjadikan masyarakat
atau rakyat sebagai objek (korban) alat gerakan atas nama “perubahan dan
keadilan sosial”.
Jika dilihat dari lokus dan
sasaran mobilisasi massa, maka dalam perkembangan radikalisme gerakan massa di wilayah
NTB saat ini telah masuk ke wilayah-wilayah pedesaan dengan mengusung isu-isu
lingkungan, pertambangan, konflik agraria, permasalahan yang dihadapi oleh
petani, kaum buruh, dan kaum miskin untuk bersama-sama memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial maupun melawan kebijakan
pemerintah yang tidak pro rakyat, tetapi dinilai lebih berpihak kepada
kepentingan asing dan kapitalisme pemilik modal, melalui kegiatan advokasi dan
pendampingan, meksipun lebih cenderung provokatif dari pada “pemberdayaan” atau
pencerahan masyarakat.
·
Potensi Ancaman dan Solusinya
Meningkatnya intensitas
radikalisme gerakan massa di wilayah NTB menimbulkan kecenderungan dan potensi
ancaman, bukan hanya terhadap stabilitas keamanan dan menghambat konsolidasi
demokrasi di Indonesia, tetapi juga menghambat pembangunan di daerah dalam
berbagai sektor. Selain itu, potensi ancaman dan kerawanan kemungkinan muncul
di tengah meningkatnya gelombang aksi-aksi protes, tindakan anarkis dan
kekerasan masyarakat sebagai wujud dari radikalisme gerakan massa di NTB,
antara lain :
Pertama, melemahnya kekuatan
supremasi hukum di tengah masyarakat sebagai salah satu alat penyelesaian
masalah di tengah masyarakat, akibat dari ketidakmampuan aparat penegak hukum
untuk menindak tegas para pelaku anarkisme massa. Kedua, berkolaborasinya
kepentingan kelompok pergerakan dengan kepentingan elit-elit politik dalam
rangka mencapai tujuan politiknya dengan memanfaatkan rakyat sebagai basis dan
alat perjuangan yang mengusung slogan “perubahan” yang cederung mengorbankan
rakyat itu sendiri, mengingat situasi politik nasional maupun lokal akhir-akhir
ini semakin memanas ditandai dengan pertarungan kepentingan politik menjelang
Pemilu 2014, bahkan secara lokal menjelang Pemilukada secara serentak pada 13
Mei 2013, yakni Pemilukada Gubernur NTB, Pemilukada Kab. Lombok Timur, dan
Pemilukada Kota Bima. Beberapa kasus menonjol di wilayah NTB saat ini sangat
menarik dijadikan sebagai isu politik menjelang momentum tersebut untuk
dijadikan strategi pengumpulan basis massa oleh Partai Politik maupun elit-elit
berkepentingan lainnya. Ketiga, radikalisme gerakan massa tersebut juga
berpotensi terjadi dan berkembang luas dalam konteks relasi Suku, Agama, dan
Ras akibat kegagalan akulutrasi budaya dan adanya ketegangan-ketengan
struktural (Sosial, politik dan ekonomi) yang dipicu oleh instrumen SARA
sehingga mengancam terjadinya disintegrasi sosial.
Berdasarkan pola, strategi,
isu dan permasalahan, serta kepentingan aktor dan jaringan penggeraknya,
fenomena radikalisme gerakan massa akan terus memicu letupan-letupan yang
bersifat “Bom Waktu” di tengah masyarakat, baik dalam menyelesaikan setiap
permasalahan maupun menjadikan alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak
masyarakat. Fenomena ini juga diperkirakan masih berkembang dan berlanjut
sepanjang tahun 2012, mengingat beberapa permasalahan yang terjadi selama tahun
2011 hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu,
diperlukan kecerdasan dan kecermatan, serta tanggung jawab dari berbagai komponen
masyarakat, pemerintah dan legislatif, serta aparat keamanan untuk membangun
komunikasi yang efektif dan responsif, serta peka terhadap berbagai gejolak dan
aksi-aksi protes yang berkembang di tengah masyarakat dengan sigap dan tangkas
menyelesaikan akar permasalahan yang ada, bukan hanya penyelesaian secara
formalitas, birokratis dan normatif dipermukaan, tetapi juga penyelesaian
melalui pendekatan-pendekatan kultural dengan merangkul dan memberikan
perhatian penuh kepada kepentingan masyarakat.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan mengenai radikalisme yang terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat,
maka dapat disimpulkan bahwa radikalisme massa yang terjadi didorong oleh
berbagai factor sosial dan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat seperti,
konflik pertambangan, permasalahan rekruitmen tenaga kerja, permasalahan
eksplorasi pertambangan, perbedaan paham/aliran keagamaan, permasalahan sosial
dan konflik politik di mana ketidakpuasan masyarakat Nusa Tenggara Barat
terhadap pemerintahnya.
Dalam
realitanya, gerakan radikalisme massa ini memiliki dampak positif dan negative
yang ditimbulkan. Secara postitif, gerakan radikalisme massa ini menunjukkan
bahwa adanya kebangkitan daya kritis masyarakat di tengah ideology demokrasi yang
diterapkan di Indonesia dengan tujuan untuk membangun sebuah tatanan perubahan
dan keadilan sosial secara radikal. Namun, efek negative yang diberikan antara
lain munculnya ancaman tegaknya demokrasi, melumpuhkan kekuatan supremasi
hukum, dan menurunnya kepercayaan public terhadap aparat penegak hukum.
Jika meramu
para pemikir-pemikir politik dan sosial di Indonesia, maka ada beberapa factor
penyebab terjadinya radikalisme massa di Indonesia yakni ; “Pertama, menumpuknya
keresahan dan ketidakpuasan masyarakat atas situasi sosial, ekonomi dan politik
yang dirasakan dalam kesehariannya; Kedua, tersumbatnya aspirasi masyarakat
dalam format pembangunan politik (istilah penulis- lemahnya fungsi legislatif
dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi konstituen atau rakyat) atau terdapatnya
ketimpangan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan politik dan hukum;
Ketiga, gejala kemiskinan dan tajamnya ketimpangan dalam struktur masyarakat
bawah antara si kaya dan si miskin; Keempat, meningkatnya fenomena praktek
kolusi, korupsi dan manipulasi; dan Kelima, ketimpangan distribusi aset ekonomi
yang cenderung dirasakan masyarakat”.
Jadi, gerakan
massa dan radikalisme massa ini didiorong oleh semangat untuk merebut kembali
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat yang merasa tertindas dan dirugikan.
Melihat
fenomena yang demikian disertai dengan sudah diketahuinya akar permasalahan
dari gerakan radikalisme massa tersebut, maka seharusnya pemerintah melakukan
solusi-solusi alternative di mana upaya menyelesaikan gerakan radikalisme massa
tersebut tidak dilawan dengan tindakan represivitas aparat tetapi dengan
memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat tersebut.
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
[2] ibid
[3]
http://www.artikata.com/arti-346678-radikalisme.html
[4]
http://andiadmirals.blogspot.com/2012/02/fenomena-dan-ancaman-radikalisme.html?zx=15bf5e2017af673e
Happy reading and enjoy it :)
No comments
your comment awaiting moderation