Penulis: Siti Wulandari
Mahasiswa FISIP-Hubungan Internasional
Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
(18 Juni 2012)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pada
masa Perang Dunia II, wilayah Eritrea diduduki oleh Inggris. Namun, paska Perang
Dunia II berakhir, Inggris sebagai Negara yang sedang menduduki Eritrea diminta
oleh PBB untuk menyerahkan Eritrea kepada Ethiopia. Ethiopia menerima keputusan
PBB tersebut. Tetapi Eritrea tidak sepaham dengan keputusan tersebut, karena
Eritrea menganggap keputusan tersebut merugikan dan Ethiopia dianggap sebagai
penjajah baru. Sehingga rakyat Eritrea mulai melakukan perlawanan dan
pemberontakan sejak tahun 1962 hingga akhirnya merdeka melalui referendum pada
tahun 1993.
Sejak
itu, baik Eritrea maupun Ethiopia menjadi masing-masing Negara yang merdeka dan
berdaulat di kawasan Afrika dengan nama State
of Eritrea (Eritrea) dan Federal
Democratic Republic of Ethiopia (Ethiopia). Namun, paska kemerdekaan
Eritrea tersebut hubungan kedua Negara memburuk baik dari segi ekonomi,
diplomatik, kependudukan, maupun dari segi kewilayahan. Bahkan, paska
kemerdekaan Eritrea kedua Negara telah membentuk komisi bersama untuk
menentukan status resmi dari wilayah-wilayah di perbatasan kedua Negara yang menjadi
persengketaan utama. Namun, komisi ini gagal untuk menyelesaikan masalah
perbatasan yang disengketakan oleh kedua Negara.
Puncak
ketegangan antara kedua Negara terjadi ketika Eritrea dan Ethiopia terlibat
dalam perang terbuka yang berlangsung sejak tahun 1998. Perang terbuka tersebut
terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan di antara keduanya. Dalam perang
terbuka tersebut, masing-masing pihak mengerahkan ratusan ribu tentara dan
persenjataan-persenjataannya yang paling canggih. Akibat perang ini kedua
Negara kehilangan ratusan ribu nyawa warga negaranya. Hingga akhirnya, perang
terbuka antara Eritrea dan Ethiopia tersebut dapat diakhiri pada tahun 2000.
Di
sini, penulis berupaya memaparkan mekanisme resolusi konflik yang diupayakan
untuk mengatasi konflik perbatasan yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia
dalam makalah yang berjudul “Resolusi
Konflik Perbatasan Eritrea - Ethiopia
(1998-2000).
2.
Perumusan Masalah
Konflik
yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia sesungguhnya telah berlangsung sejak
Eritrea meraih kemerdekaannya pada tahun 1991. Di antara kedua Negara muncul
benih-benih konflik dan ketegangan-ketegangan. Puncak ketegangan antara kedua
Negara terjadi ketika memperebutkan wilayah perbatasan yang menyebabkan
terjadinya perang terbuka yang meletus pada tahun 1998.
Dalam
peperangan tersebut, baik Eritrea maupun Ethiopia mengerahakan kekuatan
militernya secara maksimal dan menggunakan peralatan militernya yang tercanggih
yang dimiliki. Perang tersebut menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi
dan melayangnya ratusan ribu jiwa penduduk. Hingga akhirnya perang tersebut
dapat diakhiri pada tahun 2000. Melihat fenomena konflik tersebut, dalam
makalah ini penulis berupaya memaparkan dan menjelaskan Bagaimana resolusi konflik yang diupayakan untuk menyelesaikan konflik
perbatasan antara Eritrea dan Ethiopia yang terjadi pada tahun 1998-2000 ?
3.
Definisi Konseptual dan Kerangka Teori
a.
Resolusi Konflik
“Conflict
resolution is a situation where the conflicting parties enter into an agreement
that solves their central incompatibilities, accept each other’s continued
existence as parties and cease all violent actions against each other.”[1]
Poin-poin penting yang hendak dicapai
dalam proses resolusi konflik adalah tercapainya kompromi dan kesepakatan
terhadap ketidakcocokkan yang ada di antara aktor yang berkonflik. Dalam
resolusi konflik ini diupayakan pihak-pihak yang berkonflik menyepakati
perjanjian bersama, menghormati keberadaan masing-masing dan menghentikan tindakan
kekerasan yang dilakukan. Resolusi konflik ini, merupakan salah satu dari tujuh
mekanisme mengatasi ketidakcocokan antar aktor yang menyebabkan konflik di
antara aktor-aktor tersebut. Mekanisme resolusi konflik dilakukan dengan
melakukan arbitrasi atau prosedur legal lain yang diterima oleh aktor-aktor
yang berkonflik. Mekanisme resolusi konflik ini bertujuan untuk menemukan cara
penyelesaikan konflik dengan melibatkan pihak ketiga netral yang tidak terlibat
dalam konflik.
b.
Konflik Perbatasan
Conflict
as a social situation in which in minimum two actors (parties) strive to
acquire at the same moment in time an available set of scarce source.[2]
“A territorial dispute is a disagreement over
the possession/control of land between two or more state or over the possession
or control of land by a new state and occupying power after it has conquered
the land from a former state no longer currently recognized by the new state.”[3]
Konflik perbatasan dapat diartikan
juga sebagai “Boundary dispute is overall
states arguing over their boundaries or how they function.”[4]
Jadi, konflik perbatasan atau konflik
atas klaim suatu wilayah merupakan ketidaksepakatan atas kepemilikan dan
kontrol atas suatu wilayah yang disengketakan oleh dua Negara atau lebih.
c.
Interstate War
Interstate war merupakan peperangan yang
dilakukan oleh dua Negara atau lebih. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perang antar Negara adalah:
1)
Geopolitik,
merupakan masalah perbatasan dan klaim wilayah yang menyebabkan terjadinya
perang antar Negara;
2)
Realpolitik,
merupakan upaya perebutan power, dan persenjataan yang memicu terjadinya perang
antar Negara;
3)
Ideal Politik,
adalah permasalahan ideology, legitimasi dan pemerintahan suatu Negara yang
menjadi faktor terjadinya perang antar Negara;
4)
Kapital Politik,
merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, keuntungan
ekonomi yang menjadi permasalahan perang antar Negara.[5]
BAB II
OBYEK YANG DITELITI
1.
Perang Kemerdekaan Eritrea Menghadapi Ethiopia
Eritrea
dan Ethiopia merupakan wilayah yang berada di kawasan Afrika. Pada tahun 800 SM
Dinasti D’Mit menyatukan wilayah Eritrea dengan Ethiopia. Ketika Perang Dunia
II berlangsung, Inggris menguasai wilayah Ethiopia dan Eritrea. Ethiopia
melakukan perlawanan dan berhasil lepas dari koloni Inggris, namun Inggris
masih menguasai wilayah Eritrea.
Namun,
paska Perang Dunia II, PBB mengembalikan kedaulatan setelah perang dan
menyatukan Eritrea sebagai wilayah federal Ethiopia. Ketidakpuasan terjadi
sejak Kaisar Haile Selassie secara sepihak menganeksasi Eritrea pada tahun
1962. Paska diserahkannya Eritrea kepada Ethiopia, pemerintah pusat Ethiopia
menerapkan kebijakan-kebijakan yang ketat atas wilayah Eritrea. Partai politik
Eritrea tidak boleh didirikan, kebebasan pers dikekang, dan bahasa Eritrea
tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah setempat. Pemerintah Ethiopia pun
melakukan tindakan penindasan dan perbudakan terhadap rakyat Eritrea.
Karena
tindakan Pemerintah Ethiopia tersebut muncullah perlawanan dan perang gerilya
yang menuntut agar Eritrea merdeka. Eritrea melakukan perang kemerdekaan sejak
September 1961 hingga Mei 1991. Eritrean People’s Liberation Front (EPLF)
didukung oleh Negara-negara Arab dan gerilyawan Palestina, sedangkan Ethiopia
dibantu secara financial dan peralatan militer dari Uni Soviet dan Kuba.
Setelah runtuhnya Uni Soviet oleh pemberontak pro demokrasi akhirnya PBB
melakukan intervensi dan mengadakan referendum pada tahun 1991. Hasil dari
referendum tersebut adalah adanya kedaulatan dan pengakuan penuh atas Eritrea
pada tanggal 24 Mei 1993 dengan Ibukota Asmara.
2.
Konflik Perbatasan Ethiopia – Eritrea
Gambar 1.
Peta Wilayah Eritrea dan Ethiopia
Ketika
Eritrea mendapatkan kemerdekaannya, perbatasan antar kedua Negara yaitu antara
Eritrea dan Ethiopia tidak ditetapkan secara jelas dan beberapa bagian wilayah
diperebutkan oleh kedua Negara tersebut. Pembentukan sebuah komisi pada tahun
1991 untuk menentukan batas-batas wilayah kedua Negara pun gagal menjalankan
fungsinya.
Pemerintah
Eritrea menyiarkan pernyataan di Radio Eritrea bahwa Ethiopia akan melaksanakan
perang total untuk menyelesaikan permasalahan perbatasan yang disengketakan
Eritrea dan Ethiopia. Sebelumnya upaya dialog sebagai proses pendamaian kedua
Negara tersebut telah dilakukan yang difasilitasi oleh Pemerintah Amerika
Serikat dan Rwanda, Ketua IGAD (Inter-Governmental Authority on Development),
Organisasi Negara Sahel-Sahara dan Sekretaris Jendral Organisasi Uni Afrika.
Upaya
dialog tersebut gagal dilakukan dan bahkan Pemerintah Ethiopia menginstruksikan
pasukan militernya untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk
menggagalkan invasi Eritrea. Ketegangan di antara kedua Negara semakin
meningkat seiring dengan insiden yang terjadi di dataran Badme.
Ketegangan-ketegangan
antara Eritrea dan Ethiopia terjadi di sekitar dataran Badme. Orang-orang
Eritrea yang berada di sekitar dataran Badme dipindahkan ke wilayah Tigrayan.
Eskalasi ketegangan antara kedua Negara semakin meningkat ditunjukkan dengan
surat resmi yang ditulis oleh Administrator wilayah Tahtai Adyabo, Ato Abraha
Berhane yang ditulis pada 10 Maret 1998.[6]
Konflik
antara Eritrea dan Ethiopia kembali terjadi ketika Addis Ababa mengklaim bahwa
tentara Eritrea telah menduduki Badme, wilayah perbatasan kedua Negara yang
dianggap sebagai teritorialnya pada tanggal 12 Mei 1998. Pada 6 Mei 1998
tentara Ethiopia ditembak oleh tentara Eritrea di sekitar dataran Badme. Hal
ini menyebabkan deklarasi perang yang dinyatakan oleh Parlemen Ethiopia pada 13
Mei 1998.[7]
Satu
bulan kemudian pecah perang diantara kedua Negara tersebut. Dan pada tanggal 3
Juni kedua Negara saling menembakkan artileri. Sepasang fghter-bomber MiG-23BN Ethiopian Air Force (ETAF) menyerang Airport
Internasional Asmara pada tanggal 5 Juni. Siang harinya Eritrea Air Force
(ERAF) membalas serangan Ethiopia tersebut dengan mengirim sepasang Aeromacchi
MB339 untuk menyerang kota Mekelle, Ethiopia.
Organisasi
Uni Afrika dan Amerika Serikat mengupayakan perundingan damai untuk
menyelesaikan konflik di antara kedua Negara tersebut, namun perundingan
tersebut gagal. Bahkan paska gagalnya perundingan tersebut, Ethiopia melakukan
serangan besar-besaran ke kota Badme yang sedang dikuasai oleh Eritrea di bawah
kode sandi “Operasi Matahari Terbenam” yang dilaksanakan sejak 22 Februari
1999. Dengan operasi tersebut, Ethiopia berhasil merebut dan menduduki kota
Badme dan menggeser garis depan sejauh 6 KM lebih dalam ke wilayah Eritrea.
Baik
Eritrea dan Ethiopia menggunakan kekuatan pesawat dan heli tempur untuk
membombardir posisi lawan. Pada tanggal 25 Februari terjadi pertempuran antara
Fulcrum dan Flanker. Dalam pertempuran ini terjadi peperangan yang tidak imbang
antara Eritrea dan Ethiopia, di mana Ethiopia memili persenjataan yang lebih
banyak dan lebih bagus dibanding milik Eritrea. Dalam peperangan ini, Eritrea
mengalami banyak kekalahan. Beberapa pesawat tempur Eritrea hancur, dan banyak
wilayah Eritrea yang dibom oleh Ethiopia. Dalam pertempuran yang berlangsung
sejak Mei 1998 hingga Juni 2000 menyebabkan lebih dari 100.000 orang meninggal
dan jutaan dolar dipergunakan untuk pengembangan kegiatan militer dan pembelian
senjata perang.
Pertempuran
kembali terjadi pada tanggal 11 Mei 2000, ketika pasukan Ethiopia berhasil
merebut sebuah kota perbatasan penting yang dianggap sebagai wilayah Eritrea.
Pada bulan Mei tersebut Washington mengusulkan diberlakukannya embargo senjata
penuh pada kedua Negara dengan harapan mereka akan kekurangan senjata. Selain
itu, Amerika juga melarang pejabat pemerintah Ethiopia berpergian ke Amerika
sebagai salah satu sanksi. Sedangkan Rusia mendesak dilakukannya diplomasi
lanjutan.
Alasan
utama dari konflik yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia adalah karena
Ethiopia tidak lagi memiliki perbatasan di sepanjang Laut Merah dan karena itu
bergantung terhadap jasa kapal dan perdagangan barang sepanjang Laut Merah,
terutama bergantung dengan Eritrea. Karena itulah kedua Negara memperebutkan
daerah perbatasan, khususnya dataran Badme, yang strategis dan bermuara ke Laut
Merah sebagai akses transportasi dan perdagangan bagi kedua Negara.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
11.
Resolusi Konflik
Pada pertengahan tahun 1999, baik
Eritrea dan Ethiopian telah menerima rencana perdamaian yang ditengahi oleh
Organisas Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU). Namun, baik
Eritrea maupun Ethiopia tidak setuju dengan implementasi-implementasi tindakan
yang dicanangkan, dan menyalahkan satu sama lain atas isu-isu yang ada, kedua
Negara tersebut juga tidak berkomitmen secara serius untuk melaksanakan perdamaian,
sehingga upaya perdamaian yang dibuat tersebut sulit dicapai.
Sejak itu situasi antara kedua Negara
semakin menegang. Baik Ethiopia maupun Eritrea dituduh melakukan pelanggaran
berat. Amnesti internasional menunjukkan bahwa sejumlah besar warga Eritrea
ditahan oleh Ethiopia hanya karena masalah pasir, dan Eritrea pun menggunakan
anak-anak sebagai tentara di garis depan pertahanan.
Pada akhir Mei 2000, Ethiopia telah
mendaklarasikan berakhirnya perang dengan Eritrea. Ethiophia mengklaim
kemenangan, sementra Eritrea mengklaim penarikan taktis.[8] Kemudian kedua belah pihak
akan bertemu lagi untuk melihat apakah pertemuan akan bisa ditengahi kembali.
Solusi konflik yang dihasilkan atas konflik yang terjadi antara Eritrea dan
Ethiopia adalah adanya kesepakatan yang dirumuskan pada 18 Juni 2000 atas
dorongan dan tekanan dari dunia internasional. Kesepakatan yang muncul hanyalah
dihentikannya gencatan senjata namun belum adanya sebuah positive peace di antara kedua Negara tersebut. Oleh karenanya, PBB
menempatakan 4.200 pasukan tentaranya untuk berjaga di perbatasan yang
disengketakan untuk mempertahankan perdamaian yang labil tersebut.[9]
Gagalnya jalur perundingan yang
diupayakan oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU)
kemudian ditindaklanjuti oleh PBB. PBB dan Amerika Serikat ikut serta dalam
mengupayakan perundingan di antara Eritrea dan Ethiopia. Dalam perundingan
tersebut membuahkan hasil Algiers
Agreement, yaitu sebuah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada 12
Desember 2000.[10]
Pernyataan resmi berakhirnya Konflik
Eritrea dan Ethiopia pun dideklarasikan oleh Sekretaris Jendral PBB, Kofi
Annan. Ia menyatakan bahwa sebuah perjanjian damai akan ditandatangani oleh
Eritrea dan Ethiopia di Algeria. Perjanjian ini akan memutuskan sengketa
perbatasan, pertukaran tawanan dan melepaskan warga sipil yang ditahan. Perdana
Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima
draft rencana perdamaian yang disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika
(Organization African Union-OAU).[11]
Berdasarkan Algiers Agreement yang ditandatangani Eritrea dan Ethiopia, kawasan
sepanjang 25 KM di Eritrea menjadi daerah yang dikontrol oleh United Mission in Ethiopia and Eritrea
(UNMEE), sementara menunggu hasil siding sengketa perbatasan di Den Haag dan
Komisi Perbatasan. Akhirnya, diputuskan bahwa wilayah Badme yang menjadi sumber
konflik diserahkan kepada Eritrea. Keputusan tersebut menyebabkan Ethiopia
kehilangan garis pantainya di Laut Merah sehingga Ethiopia tidak lagi memiliki
akses secara langsung menuju Laut Merah.
Dengan menelaah latar belakang dan
sumber pemicu konflik antara Eritrea dan Ethiopia maka kita dapat menyimpulkan
bahwa konflik di antara kedua Negara tersebut merupakan interstate war yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital
politik. Dari segi geopolitik, kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan yang
bernilai strategis bagi kedua Negara, terutama wilayah di dataran Badme. Dari
segi kapital politk, perebutan daerah perbatasan tersebut karena daerah
perbatasan yang disengketakan bernilai strategis dan menjadi akses langsung
menuju Laut Merah sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut
Merah inilah yang mereka butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan
perekonomian kedua Negara.
Jika
kita melihat dan memahami proses berjalannya konflik yang sejatinya telah
terjadi paska kemerdekaan Eritrea hingga pecah perang terbuka pada tahun 1998,
Konflik antara Eritrea dan Ethiopia ini bersifat spiral. Di mana konflik antara
kedua Negara tersebut mengalami pasang surut. Sejak tahun 1994, upaya
perundingan sudah mulai diupayakan oleh Organisasi Uni Afrika, sebagai pihak
ketiga, namun perdamaian yang dihasilkan dari perundingan tersebut tidak
bertahan lama. Paska gagalnya perundingan tersebut, Eritrea dan Ethiopia
kembali berkonflik. Perundingan yang didorong pada bulan Juni 2000 pun tidak
berhasil menegakkan perdamaian di antara kedua Negara, hingga akhirnya kedua
Negara menandatangani Algiers Agreement pada tanggal 12 Desember 2000. Di mana
penandatanganan perjanjian damai ini difasilitasi oleh United Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE) sebagai pihak
ketiga.
Keputusan
yang dihasilkan dalam Algiers Agreement sebagai upaya resolusi konflik perbatasan
Eritrea-Ethiopia, sesuai dengan gagasan resolusi konflik yang diusung oleh
Peter Walensteen. Di mana dalam resolusi konflik harus tercapai kompromi dan
kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak yang bersengketa, adanya
perjanjian yang ditandatangani bersama serta adanya penghormatan terhadap eksistensi
Negara masing-masing dan dihentikannya tindakan kekerasan di antara keduanya.
Baik Eritrea dan Ethiopia telah bersepakat menandatangani Algiers Agreement dan
menerima hasil keputusan bahwa wilayah yang disengketakan di dataran Badme dan
sekitarnya diserahkan kepada Eritrea, pertukaran tawanan dan melepasakan warga
sipil yang ditahan oleh kedua Negara, Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi,
juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima draft rencana perdamaian yang
disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU).
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Sejak
Inggris menyerahkan wilayah Eritrea kepada Ethiopia paska Perang Dunia II,
Eritrea mulai melakukan perlawanan untuk memerdekakan diri dari Ethiopia.
Hingga akhirnya Eritrea mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1991 dan memperoleh
referendum penuh pada bulan April 1993. Sejak saat itu, benih-benih konflik
antara Eritrea dan Ethiopia mulai muncul karena perebutan wilayah perbatasan di
antara keduanya yang tidak diputuskan secara jelas paska kemerdekaan Eritrea.
Sejak
1994 hingga 1998 benih-benih konflik mulai muncul, dan memuncak hingga pecah
perang terbuka antara kedua Negara dari tahun 1998 hingga tahun 2000. Perang
terbuka antara Eritrea dan Ethiopia menyebabkan ratusan ribu warga Negara
mereka meninggal dan runtuhnya sendi-sendi perekonomian kedua Negara. Untuk
menyelesaikan konflik di antara kedua Negara, PBB dan Amerika Serikat mendorong
perundingan antara Eritrea dan Ethiopa. Sehingga dihasilkan Algiers Agreement sebagai perjanjian
damai yang ditandatangani pada tanggal 12 Desember 2000. Di mana proses
resolusi konflik tersebut (terciptanya perjanjian damai) difasilitasi oleh United Mission in Ethiopia and Eritrea
(UNMEE) sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak terlibat dalam konflik yang
terjadi.
Dengan
menelaah latar belakang, proses dan sumber pemicu konflik antara Eritrea dan
Ethiopia maka kita dapat menyimpulkan bahwa konflik di antara kedua Negara
tersebut merupakan konflik yang bersifat spiral. Konflik di antara kedua Negara
tersebut juga termasuk ke dalam kategori interstate
war yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital politik. Dari segi
geopolitik, kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan yang bernilai
strategis bagi kedua Negara, terutama wilayah di dataran Badme. Dari segi
kapital politk, perebutan daerah perbatasan tersebut karena daerah perbatasan
yang disengketakan bernilai strategis dan menjadi akses langsung menuju Laut
Merah sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut Merah inilah
yang mereka butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian
kedua Negara.
Proses
dan keputusan yang dihasilkan dari upaya resolusi konflik perbatasan
Eritrea-Ethiopia yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka upaya tersebut sesuai
dengan gagasan resolusi konflik yang diusung oleh Peter Walensteen. Di mana
dalam resolusi konflik harus tercapai kompromi dan kesepakatan yang disepakati
kedua belah pihak yang bersengketa, adanya perjanjian yang ditandatangani
bersama serta adanya penghormatan terhadap eksistensi Negara masing-masing dan
dihentikannya tindakan kekerasan di antara keduanya. Baik Eritrea dan Ethiopia
telah bersepakat menandatangani Algiers
Agreement dan menerima hasil keputusan bahwa wilayah yang disengketakan di
dataran Badme dan sekitarnya diserahkan kepada Eritrea, pertukaran tawanan dan
melepasakan warga sipil yang ditahan oleh kedua Negara, Perdana Menteri
Ethiopia, Meles Zenawi, juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima draft
rencana perdamaian yang disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization
African Union-OAU).
[1] Peter Wallensteen. Understanding Conflict Resolution: War,
Peace and the Global System. 2002. London: Sage Publication. Hal.8.
[2] Ibid.
Hal. 16.
[3] “Territorial
Dispute.” http://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_dispute.
Di akses pada 4 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
[4] “Boundary Dispute” http://wiki.answers.com/Q/What_is_the_definition_for_Boundary_disputes_also_definitional_locational_operational_and_allocational.
Di akses pada 4 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
[5] Peter Wallensteen. Understanding
Conflict Resolution: War, Peace and the Global System. 2002. London: Sage
Publication. Hal. 95-96.
[6] Alemseged
Tesfai. The Cause of The
Eritrean-Ethiopian Border Conflict. http://www.dehai.org/conflict/analysis/alemsghed1.html. Di akses pada 4 Juni 2012
pukul 22.15 WIB.
[7] Ibid.
[8]
Abebe Andualem. “The
Guardian: Ethiopia Says War With Eritrea is Over.” 1 Juni 2000. http://www.guardian.co.uk/world/2000/jun/01/ethiopia.
Diakses pada 4 Juni 2012 pukul 21.00 WIB.
[9]
“UN
Authorizes 4200 troops For Ethiopia-Eritrea Peacekeeping Force.” 15
September 2000. http://www.afrol.com/News/eth005_peacekeepers_authorized.htm.
Diakses pada 4 Juni 2012 pukul 21.10 WIB.
[10] F. Luthfi. Profil Negara Afrika:
Eritrea. Universitas Gajah Mada. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CFEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.diahkei.staff.ugm.ac.id%2Ffile%2Fgot1%2520-%2520profil%2520negara%2520-%2520entry%2520mhs.doc&ei=60DQT8zDC4TJrAfdiJSgDA&usg=AFQjCNGRMfuSSn7jxf5Wqs2Q9NHkL6vX_w&sig2=a8IdkYRrndI6VrZuqCIOHQ.
Di akses pada 7 Juni 2012 pukul 13.15 WIB.
[11]
New York Times. “Ethiopia to Sign Peace Treaty with Eritrea.” 7 Desember 2000.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Wallensteen, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace and the Global System.
2002. London: Sage Publication.
Global IDP. Profile
of International Displacement: Ethiopia, Compilation of The Information
Available in the Global IDP Database of The Norwegian Refugee Council. 13
Juli 2004. Jenewa.
Escola de Cultura de Pau dan Agencia Espanola de
Cooperacion Internacional. Eritrea.
Jurnal
dan Surat Kabar
BBC. “Eritrea:
‘Ethiopia Pursues Total War”. 6 Juni 1998. http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/107985.stm.
Diakses pada 3 Juni 2012 Pukul 20.00 WIB.
BBC. “Timeline:
Ethiopia.” 28 November 2005. http://news.bbc.co.uk.id.mk.gd/1/hi/world/africa/country_profiles/1072219.stm.
Diakses pada 2 Juni 2012 pukul 19.00 WIB.
Luthfi, F. Profil
Negara Afrika: Eritrea. Universitas Gajah Mada. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CFEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.diahkei.staff.ugm.ac.id%2Ffile%2Fgot1%2520-%2520profil%2520negara%2520-%2520entry%2520mhs.doc&ei=60DQT8zDC4TJrAfdiJSgDA&usg=AFQjCNGRMfuSSn7jxf5Wqs2Q9NHkL6vX_w&sig2=a8IdkYRrndI6VrZuqCIOHQ.
Di akses pada 7 Juni 2012 pukul 13.15 WIB.
Merdeka. “Eritrea: Resolusi PBB Bisa Picu Ketegangan dan Konflik.” 28
November 2005. http://www.merdeka.com/politik/internasional/eritrea-resoulis-pbb-bisa-picu-ketegangan-dan-konflik-a7zsjxk.html.
Diakses pada 3 Juni 2012 pukul 21.00 WIB.
New York Times. “Ethiopia
to Sign Peace Treaty with Eritrea.” 7 Desember 2000. http://www.nytimes.com/2000/12/07/world/ethiopia-to-sign-peace-treaty-with-eritrea.html.
Diakses
pada 4 Juni 2012 pukul 21.15 WIB.
Website
Ab, Ghebre. “The Ethiopian –
Eritrean Conflict Web Page.” Clermont College, University of Cincinnati. http://www.geocities.com/CollegePark/Quad/6460/hf/98_6/index.html
Diakses pada 4 Juni 2012 Pukul 21.00 WIB.
Andualem,
Abebe. “The Guardian: Ethiopia Says War
With Eritrea is Over.” 1 Juni 2000. http://www.guardian.co.uk/world/2000/jun/01/ethiopia.
Diakses pada 4 Juni 2012 pukul 21.00 WIB.
Shah, Anup. “Conflict Between Ethiopia and Eritrea.” 20
Desember 2000. http://www.globalissues.org/article/89/conflict-between-ethiopia-and-eritrea.
Diakses pada 4 Juni 2012 Pukul 21.00 WIB.
Sumbodo, Sudiro. “Konflik
Udara Eritrea vs. Ethiopia.” 2006. Jakarta. http://www.sudirodesign.com/index.php?m=news&id=0&hash_token=0&my_keywords=&my_category=&lower_limit=42.
Diakses pada 3 Juni 2012 Pukul 19.00 WIB.
Tesfai, Alemseged. The Cause of The Eritrean-Ethiopian Border Conflict. http://www.dehai.org/conflict/analysis/alemsghed1.html.
Di akses pada 4 Juni 2012 pukul 22.15 WIB.
“Boundary Dispute” http://wiki.answers.com/Q/What_is_the_definition_for_Boundary_disputes_also_definitional_locational_operational_and_allocational.
Di akses pada 4 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
“Ethiopia / Eritrea War.”
22 Januari 2011. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/eritrea.htm.
Diakses pada 2 Juni 2012 pukul 20.10 WIB.
“Territorial Dispute.”
http://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_dispute.
Di akses pada 4 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
“UN Authorizes 4200 troops For
Ethiopia-Eritrea Peacekeeping Force.” 15 September 2000. http://www.afrol.com/News/eth005_peacekeepers_authorized.htm.
Diakses pada 4 Juni 2012 pukul 21.10 WIB.
Happy reading and enjoy it :)
ass.teh wulandari maaf saya mau tanya mengenai artikel diatas, saya juga kebetulan sdang membuat proposal skripsi mengenai perang ethiopia-eritrea tetapi say bingung dengan sumber buku utama. kira-kira apa teteh punya masukan sumber buku yang bagus judulnya apa terimakasih banyak sebelumnya erlinameri@ymail.com
ReplyDeleteyaaa, ku baru liat2 komenan jaman kuliah years later, maapkeuuun. Jaman kuliah ga rajin ngecekin blog kan :(
Delete