Desember 2004 menjadi momen yang tak bisa terlupakan dalam ingatanku hingga kini, 17 tahun berlalu.
Saat itu aku berstatus sebagai siswa kelas 2 SMP Negeri 1 Slawi, salah satu sekolah favorit di Kabupaten Tegal. Siang itu, aku menyambangi rumah teman sekelasku dengan teman-teman kelompok belajar Tata Boga untuk melakukan praktik tugas kelompok, membuat kue klepon. Hari semakin senja, dan sudah tak ada lagi kendaraan umum menuju rumahku yang berada nun jauh di pedukuhan.
Singkat cerita seorang teman hendak mengantarkan ku pulang dengan mengendarai sepeda motor. Sayangnya, sepeda motornya mogok belum jauh dari rumah temanku. Daannn, dengan gentle-nya seorang teman yang ku suka saat itu, mendatangi kami, katanya sudah punya firasat, ehm, manis sekali tentu. Mungkin, saat itu, ketika tiba-tiba dia datang dengan gagahnya dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang, ada banyak kupu-kupu yang beterbangan di perutku? Atau degup jantung yang teramat kencang. Ah entahlah, sudah pasti saat itu, anak bocah 13 tahun ini pasti merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Cerita manis usai sudah sampai di sini, cerita naas akan dimulai.
Keteledoran kami saat itu, kedua teman ku tadi tidak membawa helm untukku (aku pun lupa, apakah mereka mengenakan helm atau tidak saat mengantarku). Dan, memang yang namanya musibah, tidak bisa terhindarkan. Aku merasa tidak mengingat apa pun, dan seketika aku bangun, aku terbangun di atas ranjang rumah sakit Dr. Seoselo Slawi dan melihat tayangan berita Tsunami Aceh, jika tidak salah, aku terbangun 24 Desember 2004, beberapa hari setelah tidak sadarkan diri karena gumpalan darah di kepalaku setelah terjatuh dari sepeda motor.
Tsunami Aceh Sumber: RRI |
Aku lupa-lupa ingat melakukan operasi kepala sebelum sadar dan menonton berita Tsunami Aceh atau setelahnya. Sekelebat memori yang masih membekas dan terbayang oleh ku hingga saat ini adalah, aku ingat betul memasuki ruang operasi, dipindahkan dari ranjang pasien ke ranjang operasi di bawah sorot lampu operasi. Saat itu aku digotong oleh beberapa orang, karena aku sama sekali tidak bisa menggerakkan badanku sama sekali, seakan-akan semua beban terpatri di kepala ini.
Aku masih bisa melihat kondisi ruangan operasi hingga akhirnya penglihatanku samar-samar semakin kabur dan menjadi gelap sesaat setelah suntik bius. Di momen-momen kritis itu, aku ingat betul berdoa pada Tuhan, entah doa apa yang aku panjatkan, mungkin keselamatan? Mungkin pengampunan doa? Entah, aku hanya ingat, aku berdoa pada Tuhan. Hingga akhirnya aku keluar ruang operasi dan tak seberapa lama sadarkan diri saat keluar dan melihat sekitar, yang ku ingat pertama kali bukan mamakku, bapak, keluarga atau dokter, saat kali pertama sadarkan diri, aku mengingat Tuhan, rasa terimakasih, rasa haru, perasaan takjub, merasa ini layaknya mukjizat Tuhan. Aku kembali hidup dari ambang kematian di atas meja operasi. Saat itu lah, aku merasakan kuasa Tuhan.
Lah, endingnya sangat tidak terduga wkwkwkek
ReplyDeleteKak Wulaaan!
ReplyDeleteBentar lagi Desember nih, jadi takut ga sik? Ya Allah kok gue yang parno jadinya yaa :(
Lega banget ya kalo abis ngelewatin masa2 kritis :D
ReplyDeleteSemoga selalu sehat :)
Merinding bacanya...mana abis banyak baca berita tentang kecelakaan tunggal Vanessa angel dan suami...memang ya segala sesuatu itu bisa terjadi tiba2...semoga kita semua diberikan perlindungan senantiasa.
ReplyDeleteAku ikutan ngilu, mbaak.. tapi Alhamdulillah sembuh ya, mbaak. Semoga selalu sehat. Aamiin
ReplyDeleteWahh Pengalaman Hidup yang sangat berharga sekali Mba Wulan, Tetap jaga kesehatan ya Mba
ReplyDeleteAlhamdulillah ya mbak. Operasinya sukses dan semoga semakin mendekatkan diri ke Allah SWT. Aamiin
ReplyDelete