Setelah bertahun lalu merampungkan buku Bumi Manusia, jauh sebelum diangkat ke layar kaca, akhirnya kesempatan dan momen melanjutkan bacaan tetralogi buru, buku kedua "Anak Semua Bangsa" datang juga.
Sebelumnya, saat membaca Bumi Manusia, halaman demi halaman, kisah demi kisah, romantika Minke dan Annelies, terasa paling melekat, bahkan hingga mengoyak emosi sampai di penghujung cerita. Memorinya bahkan masih membekas hingga ku buka halaman pertama Anak Semua Bangsa.
Tetralogi Pulau Buru #2: Anak Semua Bangsa |
Kali ini, dinamika ceritanya telah berubah. Entah karena memang alurnya demikian, atau karena fokus perhatian memang sedang ku tujukan pada hubungan orang tua, antara Minke dan Nyai Ontosoroh, Mama Annelies sekaligus Ibu Mertua Minke, sebagaimana tema reading challenge Lenong Buku KUBBU: "Orang Tua dan Anak".
Nyai Ontosoroh seakan menjadi pusat perhatian dan pusaran ajaran nilai-nilai kehidupan yang diserap banyak-banyak oleh Minke di tengah kehidupan masa-masa kolonial Belanda. Hubungan anak-mertua yang solid dan penuh perjuangan, 180 derajat jauh berbeda dari bayangan-bayangan hubungan anak dan ibu mertua yang diceritakan di sinetron-sinetron.
Mula-mula Nyai Ontosoroh menekankan pentingnya penegakan azas terkecil pun dalam suatu perkara, agar kita bersikap adil. Di masa hidupnya, Nyai Ontosoroh mengedepankan azas kesetaraan dan keadian, tanpa pandang bulu dengan latar belakang etnis orang-orang yang Ia temui. Salah satu azas yang luput dari perhatian Minke, yang masih berusaha mempraktikkan bersikap adil sejak dalam pikiran.
Sepeninggal kepergian Annelies ke Belanda, gejolak hidup Minke belum juga mereda. Berbagai isu-isu kesenjangan sosial, perbudakan hingga perampasan hak para petani yang selama ini luput dari perhatian Minke, secara pelan menghampiri Minke hingga menjadi gelombang-gelombang besar yang menghantui pikirannya. Minke memiliki tekad untuk terjun ke masyarakat bawah untuk mengenal bangsanya sendiri secara langsung. Nyai Ontosoroh pun memberikan wejangan bahwasanya, dalam setiap keputusan yang diambil, kita juga harus turut serta berani mengambil risiko yang akan dituai setelahnya.
Meskipun hubungan antara Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan hubungan anak dan ibu mertua yang seumur jagung, namun pengemasan cerita dan lika-liku cobaan yang mereka hadapi secara bersama-sama seakan menihilkan hubungan orang tua-anak yang baru saja dimulai. Dalam setiap bait-bait cerita, kita bisa merasakan kedekatan, kekompakan dan penghormatan satu sama lain.
Nyai Ontosoroh pun mengagumi Minke karena kemampuannya untuk menulis, mewartakan kabar-ide-gagasan kepada khalayak ramai. Sebuah kendaraan yang tidak dikuasai Nyai Ontosoroh. Karenanya, sosok Nyai Ontosoroh senantiasa mendukung aktivitas menulis Minke dan juga mendorong agar Minke pun turut mewartakan kabar pada orang-orang lokal dengan bahasa Melayu. Bagi Nyai Ontosoroh, tulisan haruslah menunjukkan kebenaran dan harus dihormati karena dibaca oleh ribuan orang. Suara-suara yang dituliskan, tidak akan padam, abadi sampai jauh di kemudian hari.
Didikan untuk selalu waspada dan jangan meremehkan orang meskipun hanya seorang, siapa pun dia, turut mewarnai ajaran-ajaran yang disampaikan Nyai Ontosoroh kepada Minke. Karena yang seorang pun itu, mengandung kemungkinan yang tanpa batas.
Manakala Minke masih memiliki pandangan Nederland minded, Nyai Ontosoroh pun turut mengingatkan bahwa kita tak boleh terlalu mengagung-agungkan sesuatu. Bagaimana pun, segala macam hal di bumi ini mengandung hal-hal yang baik sekaligus yang jahat. Minke harus belajar dari banyak hal, dari banyak sudut pandang dan dari banyak bangsa.
Eh aku belum kelar baca ini. Baru awal-awal doang gimana pas annelies sampai belanda. Terus aku bete gamau nerusin lagi. Sedih banget baca pas anneliesnya sampai Belanda gimana.
ReplyDeleteHubungan dua manusia yang penuh values sehingga bisa mengikis kesenjangan diantara keduanya (usia dan status).. karya yang bagus :)
ReplyDeleteSama, aku sudah menyelesaikan buku bumi manusia sebelum filmnya tayang. Tapi aku belum menyelesaikan buku anak semua bangsa.
ReplyDeleteBuku sudah tersedia, tinggal baca aja. Mulai baca di bagian awal-awal kemudian malah sibum dengan urusan lainnya. Kayaknya emang mesti dilanjutin untuk tetralogi ini.
Keren nih bukunya buat bacaan tambahan, BTW Salam kenal sesama blogger ya kak :)
ReplyDeleteBerharap buku ini difilmin juga, soalnya kalau baca bukunya kayanya terlalu berat untuk aku yang lagi malas baca buku berat-berat ini huhu
ReplyDeleteKeduanya - Minke dan Nyai Ontosoroh - digambarkan menjadi sosok idealis, yang secara gak langsung mengajarkan kita pembaca untuk tahu yang idealis tuh yang seperti apa, di masa itu. Selain keren dua sosok idealis itu, gaya tulisannya juga mempesona... yah karya Pram gitu loh
ReplyDeleteKalau tidak salah ingat, buku ini yg paling lama saya kunyah di antara tetralogi pulau buru. Membosankan di awal. Tapi setuju banget di buku ini hubungan antara Nyai Ontosoroh dan Minke semakin kokoh.
ReplyDeleteKalo boleh jujur dari semua tokoh dalam serial Tetralogi Pulau Buru, Nyai Ontosoroh yang paling menarik perhatian saya, bukan mengesampingkan Minke sebagai tokoh utama, entah kenapa karakter Nyai Ontosoroh jauh melampaui zamannya, seorang wanita yang berstatus gundik, namun bisa keluar sebagai Wanita mandiri, kuat dan juga teguh dalam berpendirian, berani melawan hukum kolonial walau statusnya sebagai seorang pribumi, dan satu lagi, dia kaya raya.
ReplyDeleteNederland minded, sebagaimana tulisan Mbak Wulan, tentunya ada sisi postif dan negatif. Hal-hal yang baik dari budaya lain, bisa saja kita ambil. Sedangkan hal-hal yang buruk, tentunya tidak perlu kita ikuti.
ReplyDeleteBagus ya sepertinya isi buku karya Pramoedya Ananta Toer setelah membaca ulasan yang Wulan tulis. Menarik untuk dikulik lebih lanjut lagi. Tentang Minke dengan Nederland Mindednya juga tentang Annelies. Kalau aku pribadi lebih tertarik pada Minke disaat ia mencoba mengenali bangsanya sendiri dan mencoba masuk kepada mereka, juga ajaran-ajaran yang diberikan oleh Nyai Ontosoroh.
ReplyDelete